Bandung Dalam Dekapan Malam September

Ujung malam bercerita…

Senyum itu senantiasa hadir dalam setiap lamunanku, seakan hendak menguliti jiwaku yang sebenarnya memang kerdil. Padahal, tak ada yang istimewa pada dirinya meski bibirnya merah tapi masih kalah dengan bibir bintang sinetron pujaan adikku, tapi satu yang pasti bahwa bibir itu pernah mengajarkanku bahwa doa bukanlah akhir dari segalanya, melainkan proses untuk mempertegas usaha, lentik jemarinya tak pernah terasa lembut dengan gerak gemulai yang kerap hadir dalam setiap geliat lekuk tubuhnya, seakan menampar keberanianku untuk angkuh.

Malam beranjak mengapuri matahari dalam temaram jingga warna senja menuntun jiwaku untuk mengucap salam pada Pencipta, meski ku selalu sadar kalau ikhlasku tak pernah ada dalam setiap sujud, tapi aku berpikir bahwa gerak kemanusiaankulah yang mengharuskanku untuk melakukannya.

Kembali senyum itu menembus khayalku mengoyak nadi lewat lekat tatapannya samar terlihat dibalik rimbun pohon akasia, tak pernah kusangka kembali ku melihatnya, meski bayangnya tak pernah luput dari anganku, tapi untuk bertemu… ku tak pernah berharap…

Malam itu cahaya bulan membaluri tubuhnya dalam balutan gaun sederhana yang menutupi seluruh auratnya. Kerudung putih yang menutupi kepalanya mengisyaratkan kuat hatinya, semua kuperhatikan dengan seksama. Sapaan lembut mengucap salam terlontar dari bibirnya ketika hendak berpamitan pada kawannya, semua terasa cepat, dia berlalu dan hilang dari pandanganku. Tinggallah aku termenung mengumpat kebodohanku, mengapa tak menyapanya. Kuhisap dalam batang rokokku dan menghembuskan berat asapnya ke langit-langit kamarku seperti seorang perawan yang enggan melepas kesuciannya.

Kududuk di atas dipan sambil melihat seisi kamarku yang sudah dua semester aku tempati, kamar berukuran tiga kali tiga meter yang hanya sesekali kubersihkan sehingga sering tampak berantakan oleh tumpukan pakaian kotor yang belum sempat dicuci dan kertas-kertas tugas kuliah yang berserakan tidak karuan serta debu di lantai yang sedikit tebal dan menghampar bagai permadani. Sepatu bola milik kawanku yang belum sempat kukembalikan masih utuh di bawah meja, pintu kubiarkan terbuka setengah untuk memberi kesempatan bulan menyinari kamarku yang memang agak gelap, maklumlah aku hanya memasang lampu pijar 10 watt. Tapi bukan berarti kamar ini sarang maksiat atau tempat berkumpulnya perempuan nakal, hanya karena beban listrik (yang katanya bulan depan akan naik lagi) pada setiap rumah harus dikurangi saat beban puncak. Hembusan angin membuaiku dalam lamunan tak berujung, memaksaku untuk menguap menahan kantuk. Aku beranjak dari dudukku menuju pintu dan menguncinya lalu rebah di atas dipan kayu yang sepreinya sudah kumal dan di ujungnya terdapat banyak kain perca tambalan warnanya pun sedikit pudar tapi tetap bersih dan terasa nyaman. Aku memang dilahirkan dari rahim orang miskin, tapi itu bukan alasan bagiku untuk mengumpat hidup, meski hantamannya kadang menyebalkan dan memaksaku untuk selalu siap dengan belati kesabaran, karena hadirnya terkadang muncul dalam wujud Rahwana yang memaksaku untuk bertarung di padang Kurusetra.

Mataku kupaksa terpejam dan berusaha terlelap, berharap dapat bermimpi dan bertemu dengan senyum itu lagi. Semoga…

Tinggalkan Balasan

Alamat email anda tidak akan dipublikasikan. Required fields are marked *