GAMBARU

Kemarin siang, Yoshino-san, staf lokal di KPw BI Tokyo, membagikan kue taiyaki di kantor. Katanya, itu kue sebagai simbol “Gambaru”. Ya, Gambaru adalah kata yang begitu sering saya dengar saat pertama kali datang di Jepang. Awalnya, saya kerap sebal dan risih dengan istilah “Gambaru” ini. Hampir di setiap kesempatan, orang2 Jepang selalu bilang ke saya, Gambatte !! (Bentuk lain dari ungkapan “Gambaru”).
Gambaru artinya “berjuang habis-habisan, dan tetap sabar”. Ini adalah gambaran determinasi orang Jepang. Bahwa sesuatu harus dilakukan secara serius, tidak asal-asalan, dan tetap sabar. Gambaru, bukan kalimat “kosong” atau “asal sebut”. Bagi orang Jepang, gambaru adalah filosofi yang harus dipegang erat. Kaneko-san, guru bahasa Jepang saya, kalau memberi tugas juga selalu berkata “Gambaru Iwan-san!”. Sementara Masako-san, staf lokal KPw, juga berkata begitu kalau saya akan pergi melakukan perjalanan dinas, “Gambaru Iwan san!”.
Sejak kecil, anak-anak di Jepang sudah diajari filosofi gambaru. Kalau mereka ikut lomba, mereka saling berkata, gambaru. Kalau mau ujian, mereka juga berkata, gambaru. Mau ke kantor, mulai bekerja, mereka saling berkata, gambaru. Itu dilakukan di setiap episode kehidupan.
Saat gempa, tsunami, dan krisis nuklir terjadi sekarang, saya merasakan dan melihat sendiri, bagaimana filosofi Gambaru itu bekerja. Orang Jepang tidak mengeluh, tidak marah-marah, tapi mereka tetap tegak dan mampu mengatakan “Ya” pada bencana. Tidak sekalipun kita mendengar orang Jepang yang berebut makanan, menjarah, menimbun, dan melakukan kekacauan pascabencana. Mereka tetap mengantri dan memikirkan orang lain. Saya rasa masyarakat Amerika dan Eropa-pun belum sampai pada tahap ini kematangannya.
Di Tokyo sendiri, keadaan cukup kritis dengan berkurangnya pasokan listrik. Belum lagi ancaman radiasi dari krisis reaktor nuklir Fukushima. Stok makanan serta air minum terbatas, bensin dijatah, dan transportasi umum masih sulit. Tapi tidak ada orang Jepang yang memborong di supermarket, panik, atau memikirkan diri sendiri. Mereka tetap antri, saling peduli, dan membeli kebutuhan secukupnya.
Di televisi lokal Jepang, tayangannya menarik. Tidak ada lagu-lagu mellow seperti lagu2 Ebiet, tayangan tangisan anak negeri, rekening2 donasi, videoklip pengungsi yang menangis, ataupun bendera parpol di pengungsian, sebagaimana yang marak di televisi lokal kita kalau ada bencana.
Yang terlihat di televisi Jepang adalah berbagai informasi nomor penting, update info bencana, pejabat pemerintah yang berulang kali minta maaf, dan klip tentang warga Jepang yang bekerja keras membantu sesama dan bergotong royong. Gambar-gambar di televisi Jepang adalah soal pengobaran semangat. Bukan kecengengan-kecengengan, apalagi ketakutan.
Kaisar Jepang Akihito, beberapa hari lalu muncul di televisi dan bicara langsung pada rakyat. Sebuah kesempatan yang jarang dilakukannya. Pesannya satu, Don’t Give Up Hope!. Ia mengingatkan kembali semangat “gambaru” kepada rakyat Jepang. Saat gempa Kobe tahun 1995 lalu, seluruh media Jepang menulis “Gambaro Kobe”, sebagai pembangkit semangat warga Kobe. Kini, di mana-mana ditulis, “Gambare Nippon”, ayo bangkit Jepang.
Krisis kali ini adalah krisis yang betul-betul “devastasting” dan menghancurkan Jepang. Mereka memang sudah terbiasa dengan gempa dan bencana. Tapi saya melihat sendiri bagaimana mereka sempat “kaget” saat gempa ini terjadi, dan tidak menyangka dampak tsunami lebih besar dari perkiraan. Mereka juga masih berjuang mengatasi krisis reaktor nuklir. Bukan cuma satu, tapi mereka menghadapi tiga krisis sekaligus, gempa, tsunami, dan nuklir. Belum lagi dampaknya di sisi ekonomi dan pasar uang yang menjadi rentetan dari krisis. Bencana ini jauh lebih dahsyat dan “catastrophic” dibandingkan tsunami Aceh dan gempa Padang. Saya tidak berani membayangkan bila ini terjadi di Indonesia.
Tapi orang Jepang tidak menyerah, marah, mengeluh, atau menyalahkan Tuhan. Tidak ada cerita-cerita mistik pascagempa, yang menyalahkan pemerintah, kutukan karena Perdana Menteri dari DPJ atau sejenis itu, mengothak athik wethon dan tanggal gempa, atau mengatakan ini azab dan kutukan bagi Jepang. Bagi mereka. inilah yang diberikan oleh Tuhan, dan mereka ikhlas menerima, serta berani mengatakan “Ya”. Bukan menyalahkan.
Mereka menyadari bahwa persoalan hidup ini harus dihadapi dengan keteguhan hati. Ini yang dulu dikatakan oleh filsuf Nietzche dengan istilah “Amor Fati”. Dalam filsafat Nietzche, Amor fati adalah afirmasi atau kemampuan berkata “Ya” terhadap ketakpastian. Itulah sejatinya hidup, yang selalu berada dalam ketakpastian. Kita tidak hanya harus menanggung apa yang tidak dapat diubah, bahkan kita juga harus mencintainya.
Di Tokyo ini, kami mendapatkan banyak pelajaran dan menjadi saksi atas realita sebuah masyarakat yang matang. Masyarakat yang “baldhatum thoyibatun warobbun ghofur”, yang hanya saya baca di buku-buku ataupun kitab suci. Kami diberikan kesempatan untuk melihat negeri ini, bukan hanya pada saat aman, tapi juga pada saat bencana mengerikan terjadi. Hal ini meyakinkan kami, bahwa masyarakat yang “highly dignify and civilized society” seperti ini, ada dan bisa diwujudkan.
Dari Jepang, kita mencoba berkaca pada bangsa kita. Mudah-mudahan kita dapat belajar dari semangat “gambaru” ini. Kita bisa menjadi manusia yang tidak mudah mengeluh bila ada masalah. Tidak menyerah bila dicerca orang. Tidak mudah cengeng dan protes. Tidak mudah frustasi bila mendapatkan cobaan dan sesuatu yang tidak sesuai. Tidak saling menjelekkan orang. Namun menjadi pribadi yang saling memikirkan sesama. Bekerja keras dengan tekun. Menyerap semangat “gambaru”. Dengan itu, mudah2an kita bias menjadi manusia yg lebih baik.

Amiiin..

1 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email anda tidak akan dipublikasikan. Required fields are marked *