Maaf Telat Tuan Karikatur Barat

SOSOK itu digambarkan bercambang hitam lebat. Jenggotnya yang sedikit beruban, melingkar bagai sarang tawon, menyatu dengan kumis awut-awutan tak terawat. Matanya tertutup garis hitam bak buronan penjahat. Berjubah putih dengan kafiyeh sewarna. Serban lusuh-gelap terselempang di pundak.

Tangan kanannya menyilang di dada, menggenggam pedang. Satu gagang pedang lagi menggelantung di pinggang kanan. Dua perempuan menempel di sisi kiri-kanan agak ke belakang. Sekujur tubuhnya terbalut rapat jubah hitam. Hanya mata yang terbuka, dengan sorot melotot, bak ninja.

Begitulah sosok Nabi Muhammad SAW dicitrakan ilustrator asal negeri Denmark, Rasmus Sand Hoyer. Rekaan figur penyampai ajaran Islam itu dimuat koran pagi paling laris di Denmark, Jyllands-Posten (baca: Julands-Posten), 30 September 2005.

Total ada 12 karikatur sejenis yang dimuat hari itu. Temanya beragam: perang, kekerasan, dan perempuan. Ada gambaran, misalnya, Nabi sedang menghentikan antrean orang. Dengan dua tangan membentang, Nabi berteriak, ”Stop, stop… kami kehabisan perawan.” Seperti hendak mengatakan, kaum perawan telah habis dipoligami Nabi.

Aneka karikatur orang suci umat Islam itu pulalah yang akhirnya memancing reaksi keras di berbagai penjuru dunia, sepanjang pekan silam. Mulai Arab Saudi, Qatar, Irak, Palestina, Mesir, Libya, sampai Indonesia.

Gelombang reaksi di Indonesia memuncak Jumat pekan lalu. Kedutaan Besar Denmark di Mega Kuningan, Jakarta Selatan, jadi sasaran. Modusnya macam-macam. Ada delegasi Majelis Mujahidin, dipimpin Fauzan Al-Anshari, yang datang secara damai. Ada pula rombongan Front Pembela Islam (FPI) yang datang dengan massa, dilengkapi seremoni khas demonstrasi mereka (orasi, kepalan tangan, dan salawatan), plus aksi bakar bendera, dan (tak lupa) pelemparan telur, tomat, dan tanah liat.

Duta Besar Denmark, Niels Erick Andersen, mengaku sedih melihat bendera negaranya dibakar. Namun dia bisa mengerti. ”Kami sangat mengerti, walaupun dalam kesedihan,” kata Andersen kepada Jongki Handianto dari Gatra. ”Mungkin tindakan itu juga luapan kesedihan.” Fauzan Anshari menimpali, ”Orang Denmark pasti marah benderanya diinjak-injak orang. Karena itu simbol negara. Muhammad ini simbol keyakinan. Jauh di atas simbol negara!”

Di Surabaya, simbol Denmark juga jadi target. Seratusan massa dari Komite Umat Islam Anti-Amerika dan Israel (Kumail) mendatangi Konjen Denmark di Jalan Sambas. Dengan kostum hitam-hitam, diiringi tabuhan genderang, mereka menenteng poster-poster kecaman dan orasi kecintaan Nabi. ”Pemuatan karikatur ini adalah bentuk permusuhan negara-negara Barat terhadap Islam dan seluruh kaum muslimin,” kata Yahya, juru bicara Kumail, kepada Rach Alida Bahaweres dari Gatra.

Apa pun yang berbau Denmark kena labrak. Di Makassar, Sekretaris Jenderal Palang Merah Denmark, Jourgen Poulsen, yang kebetulan terjadwal bertemu Gubernur Sulawesi Selatan, Amin Syam, juga jadi sasaran demonstran. Poulsen pun terpaksa meminta maaf, mewakili negaranya. Poulsen, yang juga wartawan, menilai tindakan penerbitan Denmark sudah melewati batas. ”Kami minta maaf. Langkah media itu merupakan tindakan bodoh dan tidak menghargai umat lain,” katanya, seperti dipantau reporter Gatra Anthony Djafar.

Aksi protes lebih keras terjadi di negara-negara Arab. Selain melakukan demo, umat Islam di sana juga melakukan boikot produk-produk asal Denmark dan Prancis. Reaksi itu, di Qatar, mendapat spirit dari ulama terkemuka, Dr. Yusuf Qardlawi. Ia menyerukan boikot produk Denmark hingga pemerintahnya minta maaf. Pantauan kontributor Gatra di Qatar, Malahayati Zamzam, sejumlah supermarket di Doha tampak mengosongkan rak-raknya yang berisi produk Denmark. Seperti mentega dan susu.

Aksi lebih kolosal terjadi di kota-kota Arab Saudi. Konsolidasi boikot ini, dalam pantauan koresponden Gatra Noordin Hidayat, digalakkan lewat jaringan SMS, berbunyi ”boycott all Danish product”. Serta seruan-seruan pamflet yang menempel di mobil. Maklum, di Saudi tidak ada peluang demonstrasi terbuka. Ada pesan spanduk berbahasa Arab menempel di mobil, ”Boikotlah produk-produk Denmark, Allah akan membalas lebih baik” (lihat: Selamat Tinggal Danish).

Reaksi diplomatik juga berlangsung. Arab Saudi dan Irak memanggil duta besar mereka di Denmark. Libya menutup sementara kantor kedutaannya. Ada pula penyisiran warga Denmark di Palestina. Mengapa baru sekarang reaksi keras itu serentak terjadi, bukankah peristiwa pemuatan karikatur itu sudah lima bulan lalu? Apa yang terjadi?

Kasus ini bermula ketika penulis Denmark, Kare Bluitgen, berencana menerbitkan sebuah buku berjudul Koran and the Prophet’s life. Bluitgen ingin memberikan ilustrasi wajah Nabi Muhamad, tapi takut ditekan Islam garis keras. Jyllands-Posten lalu berinisiatif mengundang 40 ilustrator untuk membuat gambar Nabi. Hasilnya, 12 gambar terbaik dipublikasikan dalam terbitan khusus edisi Minggu pada 30 September 2005.

Keberanian Jyllands-Posten lima bulan silam itu, sebenarnya, sudah dari awal mendapat reaksi keras dari umat Islam Denmark. Imam Raed Hlayhel, tokoh muslim Denmark, tidak bisa menerima penghinaan ini. ”Artikel itu telah menghina dan melukai hati setiap muslim di dunia. Kami menuntut permohonan maaf,” kata Imam Raed.

Saat itu, Jyllands-Posten menolak minta maaf. Kartun itu, bagi mereka, bagian dari kebebasan berpendapat. Soal larangan dalam Islam untuk menggambar sosok Nabi, mereka menilai, tidak pada tempatnya jika non-muslim harus mengikuti aturan Islam.

Pada 20 Oktober, para diplomat muslim di Denmark, asal Mesir, Palestina, Turki, Pakistan, Iran, Bosnia-Herzegovina, dan Indonesia, mengajukan kritik terhadap Perdana Menteri Anders Fogh Rasmussen. Dalam jawaban tertulisnya, Rasmussen mengatakan tidak dapat melakukan intervensi karena mengacu pada prinsip kebebasan pers.

Karena tidak ada ketegasan penyelesaian, reaksi umat Islam makin merata. Apalagi, gambar-gambar sinis Nabi itu mulai bisa disaksikan langsung oleh kaum muslim di berbagai tempat. Karena makin banyak media non-Denmark, seperti Norwegia, Prancis, dan Jerman, yang melansir karikatur itu, maka makin terbangunlah solidaritas penentangan.

Reaksi keras yang kian meluas itu tidak urung membuat keder Jyllands-Posten. Senin pekan lalu, 31 Januari, Pemimpin Redaksi Jyllands-Posten, Carsten Juste, akhirnya mohon maaf. ”Menurut kami, 12 kartun itu biasa saja dan tidak dimaksudkan menyinggung perasaan siapa pun,” katanya. “Gambar itu tidak melanggar undang-undang Denmark. Tapi tak bisa dibantah bahwa gambar itu menyinggung perasaan banyak umat Islam. Untuk itu, kami meminta maaf.”

Melengkapi pernyataan maaf Posten, PM Denmark Rasmussen mengaku prihatin atas dampak buruk gambar ini. “Pemerintah Denmark mengutuk segala ungkapan, tindakan, atau tanda yang berniat menghina sekelompok orang berdasarkan agama atau suku,” katanya.

Ketua Umum Muhammadiyah, Din Syamsuddin, menilai kasus ini sebagai refleksi Islamophobia masyarakat Eropa. Namun terlalu berlebihan bila dipandang sebagai bukti benturan peradaban Timur dan Barat. ”Perlu ada pengamalan etika global. Pluralisme harus dijunjung tinggi. Namun harus dijaga agar tidak menabrak pagar agama,” katanya kepada Astari Yanuarti dari Gatra.

Untuk mencegah kasus serupa, kata guru besar politik Islam itu, perlu memperbanyak dialog multikultural dan mempraktekkannya. ”Saya pribadi sangat mendorong agar tidak ada clash of civilization. Tapi mengedepankan dialog,” katanya. Din sedang menyiapkan ”East Asia Religious Leaders Forum”, 11-13 Februari ini, di Jakarta. Akan hadir 150 tokoh lintas agama dari 17 negara.

Kekhawatiran ada motif pancingan amarah umat Islam juga dianut Ketua MUI, KH Ma’ruf Amin. ”Bila sampai muncul reaksi anarkis dan brutal, setelah itu Barat bisa memberi cap-cap radikal kepada umat Islam,” katanya kepada reporter Gatra Arief Ardiansyah. ”Buatlah reaksi yang positif dan konstruktif.” Hanya saja, momentum ini, bagi Ma’ruf, memberi isyarat penting bahwa umat Islam bisa dikonsolidasikan.

Bagi Ketua PBNU, KH Masdar F. Mas’udi, perkara karikatur Denmark bukan hanya berbenturan dengan larangan menggambar wajah Nabi. Tapi gambaran Nabi itu sendiri mengandung unsur terorisme. ”Itu kan penghinaan,” kata Masdar. ”Saya kira siapa pun tidak suka kalau pemimpin agamanya dihina.”

Bukankah itu ekspresi kreativitas? ”Ah, omong kosong itu,” Masdar lekas menukas pancingan Basfin Siregar dari Gatra. Ia melihat motivasi karikatur itu sengaja untuk memancing emosi. ”Motivasinya jelas untuk melukai perasaan umat Islam. Ini aneh. Umat Islam sendiri tak pernah menghina tokoh yang disucikan umat lain.” Tapi Masdar mengingatkan umat Islam agar tidak terprovokasi. Menolak boleh, asal jangan merusak.

Yang terpenting, bagi Masdar, umat Islam jangan terpancing dengan balik menghina tokoh-tokoh suci agama mereka. ”Tidak perlu kita balas menghina. Toh para karikaturis yang menghina itu sudah terhina dengan sendirinya,” katanya. ”Lagian, Nabi tidak akan menjadi hina karena dihina orang.”

Pentingnya segera dilakukan semacam interfaith dialogue juga dikemukakan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda. Tidak hanya antar-cendekiawan muslim, juga pakar tentang Islam. “Biar yang tidak beragama Islam pun bisa ikut,” kata Hassan.

”Ada semacam Islamphobia di negara-negara Barat,” kata Hasan ketika ditemui wartawan Gatra, Bernadetta Febriana, di ruang kerjanya. Masalah ini sudah dibicarakan antara negara-negara Organisasi Konferensi Islam sedunia (OKI).

Pada Oktober 2005, Denmark masih bersikukuh bahwa apa yang mereka lakukan semata-mata bentuk kebebasan ekspresi. ”Mereka tidak mengerti kalau hal itu sensitif,” kata Hassan. Negara-negara OKI telah menyiapkan sebuah resolusi mengenai perlawanan pelecehan agama. ”Kita berencana mengajukan resolusi itu ke Sidang Majelis Umum PBB,” papar Hassan. Kebebasan ekspresi perlu payung regulasi.

Asrori S. Karni, Luqman Hakim Arifin, dan Luky Setyarini (Jerman)
[Laporan Utama, Gatra Nomor 13 Beredar Senin, 6 Februari 2005]

http://www.gatra.com/artikel.php?id=92015

Tinggalkan Balasan

Alamat email anda tidak akan dipublikasikan. Required fields are marked *