Sejatinya Sebuah Aktivitas (II)

“So, aktivitas yang sejati adalah setiap aktivitas yang memiliki motivasi yang jelas, yakni memiliki tujuan antara dan senantiasa mencapai tujuan jangka panjang…”

#2: Motivasi Beraktivitas

Setelah sebelumnya kita kupas bersama mengenai potensi hidup manusia yang melahirkan beragam kebutuhan hidup dan kemudian menuntut untuk dipenuhi, maka sekarang kita kupas bersama bagaimana cara kita beraktivitas untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tetapi sebelumnya kita telaah bersama sejatinya sebuah aktivitas.

Sebelum kita beraktivitas, seyogyanya kita mengetahui tujuan jangka panjang, tujuan antara, dan nilai sebuah aktivitas. Tujuan jangka panjang beroreinetasi pada kebahagiaan hidup yang sesungguhnya. Tujuan antara berorientasi pada nilai dari suatu aktivitas.

Setiap orang pasti memiliki maksud dan tujuan dari setiap yang dilakukannya, baik disadari atau tidak, walaupun hanya sekedar iseng or having fun! Terlepas apakah keisengan tersebut bernilai atau tidak.

Perlunya memahami Nilai Suatu Aktivitas

Hal ini penting agar kita tidak keliru memaknai setiap perbuatan kita dan kita bisa mengukur keoptimalan, efektivitas, dan kesungguhan usaha kita sehingga tidak salah kaprah. Karena kita memahami maksud dan tujuan dari setiap apa yang kita lakukan.

Apa maksud dan tujuan setiap aktivitas?

Maksud setiap aktivitas tidak lain adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia yang telah kita kupas bersama pada tulisan I. Sedangkan tujuan (orientasi) orang beraktivitas sangatlah beragam. Untuk satu aktivitas yang sama bisa jadi tujuannya berbeda. Hal ini tergantung apa yang ada di pikiran dan hatinya.

Ada orang yang apapun yang dilakukannya berorientasi uang, dan kita biasanya memandang negatif. Ada juga orang yang apapun yang dilakukannya berorientasi sosial, dan kita biasanya memandang positif.

Benarkah demikian?

Secara faktual, bisa kita amati bahwa ada beberapa kategori nilai dari semua yang kita lakukan. Nilai inilah yang akan menjadi orientasi sesaat (orientasi dasar atau tujuan antara) dari setiap perbuatan kita.

Pertama, bernilai spiritual.

Kategori yang pertama ini diperuntukkan untuk setiap perbuatan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya lewat ibadah-ibadah ritual. Misalnya sholat, puasa, kebaktian, pergi haji, mengaji, dan sejenisnya.
Karena perbuatan-perbuatan tersebut bernilai spiritual, maka semata-mata hanya ditujukan agar kita mendapatkan pahala dan merasakan kedekatan personal dengan Sang Khalik. Seyogyanya kita tidak memiliki motivasi apapun selain ingin mendekatkan diri dengan Sang Khalik. Keinginan kita untuk merasakan kedekatan dengan Sang Khalik timbul karena secara alamiah kita diberi potensi hidup beragama seperti yang sudah diuraikan pada tulisan pertama.

Kedua, bernilai material.

Dinamai bernilai material, karena oreintasi dasar dari perbuatan-perbuatan yang terkategori pada nilai yang kedua ini adalah untuk memperoleh materi. Materi dalam makna luas, segala sesuatu yang terindra (dapat dilihat, dirasakan, diraba, dsb).

Contohnnya orientasi dasar kita bekerja adalah untuk mendapatkan feedback dari pemberi kerja berupa upah atau gaji. Upah atau gaji adalah materi. Orientasi dasar kita bedagang adalah untuk memperoleh profit. Profit adalah materi. Orientasi dasar kita pergi ke dokter adalah untuk berobat atau agar tubuh kita sehat. Tubuh kita sehat adalah materi, dan sebagainya.

Karena perbuatan-perbuatan tersebut bernilai material, maka orientasi dasar dari perbuatan tersebut tidak lain adalah untuk memenuhi kebutuhan material. Keinginan kita untuk memperoleh materi timbul karena dorongan kebutuhan akibat secara alamiah kita dikaruniai potensi hidup fisikal seperti yang dijelaskan pada tulisan sebelumnya.

Ketiga, bernilai sosial atau kemanusiaan.

Dikatakan bernilai sosial karena oreientasi dasar dari perbuatan-perbuatan ini adalah untuk tujuan kemanusiaan. Bagaimanapun, manuasia adalah mahluk sosial yang saling tergantung dan membutuhkan satu sama lain. Maka sesuatu yang wajar apabila kita perlu saling menerima dan memberi diantara sesama.

Contohnya, ada teman atau sanak saudara kita yang perlu bantuan kita, maka kita tolong. Beberapa tempo yang lalu, terjadi musibah tsunami dan katharina, maka sewajarnya kita memberi bantuan kemanusiaan, apapun bentuknya. Oleh karena itu, seyogyanya apabila kita melakukan aktivitas “kemanusiaan” semata-mata adalah untuk menolong sesama tanpa mengharapkan imbalan material ataupun embel-embel apapun.

Misalnya, pada saat kita menolong orang lain, kita tidak berharap dia akan membalas kebaikan kita. Pada saat kita memberi bantuan kepada kaum dhuafa, kita tidak mengharapkan sanjuangan dari masyarakat dengan membuat publikasi khusus.

Keempat, bernilai moril (akhlak).

Perbuatan yang bernilai moril adalah perbuatan yang kita lakukan untuk menghiasi perilaku kita dengan nilai-nilai moralitas (akhlak) yang baik pada saat berinteraksi dengan sesama dan semesta alam.

Moralitas (akhlak) ini sebaiknya melekat pada setiap perbuatan baik yang kita lakukan. Misalnya, pada saat kita berbicara dengan pembantu, kita bicara dengan kata-kata yang baik dan halus, memuliakan tamu, tidak merusak alam, berdagang dan bekerja dengan jujur dan tekun, merawat dengan baik piaraan (makna denotasi bukan konotasi-red) di rumah.

Nah, ibaratnya kita bepergian, baiknya mempunyai tujuan spesifik tempat yang kita tuju. Kadangkala, karena pertimbangan tertentu, kita mengunjungi beberapa tempat dalam satu kali jalan. Walau demikian, kita pasti pergi ke satu tempat terlebih dahulu, baru kemudian pergi ke tempat tujuan yang lain.

Begitu pula dengan tujuan dari sebuah perbuatan. Sebaiknya untuk sebuah perbuatan tertentu, kita mempunyai satu tujuan. Tujuan yang dimaksud ini, tidak lain adalah nilai dari perbuatan itu sendiri.

Artinya, apabila kita beribadah, ya tujuannya semata-mata untuk mereguk nilai spiritual. Apabila kita bekerja, ya tujuannya untuk menyongsong nilai material. Apabila kita membantu sesama, ya tujuannya untuk mengabadikan nilai kemanusiaan. Apabila kita bersikap baik, tujuannya ya untuk menjunjung nilai moralitas.

Sebaiknya kita tidak mencampuradukkan tujuan yang ingin kita capai dalam perbuatan yang kita lakukan. Hal ini, akan membuat bias perbuatan tersebut, sehingga kita sulit untuk mengukur kinerja (optimalitas, efisiensi, dan efektivitas) dari perbuatan tersebut.

Contoh kasus

Bekerja adalah salah satu bentuk perbuatan yang bernilai material (karena tujuannya untuk memperoleh materi). Harapan kita bekerja adalah untuk memperoleh gaji, penghargaan, dan pengakuan atas kemampuan yang kita miliki. Gaji, penghargaan, dan pengakuan adalah materi. Maka, kita bisa mengukur kinerja pekerjaan kita dengan membandingkan input (besaran gaji) dengan output (tenaga, pikiran, dan keahlian yang kita kerahkan). Kesesuaian antara input dan output inilah yang akan menjadikan indikator dari profesi yang kita geluti baik (memuaskan) atau tidak.

Lain halnya apabila kita bekerja, menggabungkan antara nilai material dan sosial. Kasus seperti ini banyak kita jumpai pada orang-orang yang bekerja pada sebuah yayasan atau lembaga kemanusiaan. Kadang tidak jelas apa tujuan mereka, mencari uang (nilai material) atau membantu sesama (tujuan sosial). Sehingga timbullah semboyan pengabdian kepada masyarakat sambil mencari uang. Sehingga seringkali mereka kebingungan menentukan pekerjaan mana yang ia bisa menuntut kompensasi dan mana yang tidak.

Tetapi, bukan berarti di tempat kerja kita tidak boleh melakukan aktivitas kemanusiaan lho! Hehe.Apa yang akan kita lakukan apabila jika di tempat kerja ada teman atau bos yang minta tolong di luar tanggung jawab pekerjaan?

Pertama, kita liat dahulu apakah permintaan mereka bersifat personal atau professional (berhubungan dengan tanggung jawab pekerjaan atau tidak). Apabila bersifat personal, ya sebaiknya kita memang niatkan untuk membantu dan tidak menuntut nilai material. Tetapi, apabila bersifat professional, maka kita bisa memilih apakah akan menuntut kompensasi material atau semata-mata diniatkan untuk menolong saja. Tentunya sebelumnya harus ada kesepakatan bersama terlebih dahulu apakah bantuan yang akan kita berikan memang ada kompensasi materialnya atau tidak.

Nilai-nilai perbuatan yang ingin kita capai dari setiap perbuatan kita tidak menunjukkan tingkatan kemulian kita sebagai manusia. Bukan berarti orang yang shalat ke mesjid menjadi lebih mulia daripada mencari nafkah. Kemuliaan tersebut terlihat apakah dalam setiap melakukan perbuatan (apapun orientasi nilainya), kita menghadirkan Sang Pencipta dalam perbuatan kita atau tidak.

Mengnhadirkan di sini adalah kita senantiasa mengikatkan diri dengan aturan dan larangan-Nya pada saat beraktivitas aapun. Dengan demikian, lahirlah kesadaran hubungan kita dengan Sang Pencipta (ruh/spirit). Bahwa kita hanya mahluk yang terbatas yang membutuhkan bimbingan dari Maha Yang Tidak Terbatas agar perbuatan kita selalu menuai pahala, agar Allah SWT ridlo kepada kita.

Keridloan tersebut terletak pada keterikatan kita dengan perintah dan larangan Allah SWT pada saat beraktivitas apapun. Sehingga kita bisa berbahagia di dunia dan akhirat. Karena Dia-lah yang Maha Mengetahui sejatinya ciptaan-Nya. Itulah yang hendaknya menjadi tujuan jangka panjang kita. Allah SWT meridloi setiap aktivitas kita.

So, aktivitas yang sejati adalah setiap aktivitas yang memiliki motivasi yang jelas, yakni memiliki tujuan antara dan senantiasa mencapai tujuan jangka panjang seperti telah dijelaskan di atas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email anda tidak akan dipublikasikan. Required fields are marked *