Saya tak lagi takut menikah

Saya Tak Lagi Takut Menikah
Artikel Muslimah – Wednesday, 03 March 2004

Saya mulai belajar Islam lebih dalam ketika kuliah di sebuah akademi milik pemerintah. Di sana saya memahami bahwa tugas mulia dan jihad utama seorang wanita muslimah adalah di rumah, menjadi istri bagi suami dan ibu bagi anak-anaknya. Di sana pula saya memahami bahwa mendidik anak adalah satu kewajiban ibu muslimah yang tidak mungkin dilimpahkan pada pihak lain.

Pemahaman ini membawa saya pada pemikiran bahwa saya tak mungkin bisa melaksanakan tugas ini jika selepas kuliah nanti saya berkeluarga sambil tetap menjalani ikatan dinas. Ya, konsekuensi dari kuliah saya yang atas biaya dan fasilitas pemerintah adalah jika lulus harus menjalani ikatan dinas, bekerja pada instansi Pemerintah selama 10 tahun. Hingga kemudian saya memutuskan untuk tidak lulus kuliah, agar saya tidak harus menjalani ikatan dinas yang sepuluh tahun itu. Sebab jika saya lulus dan berniat keluar dari pekerjaan, saya harus membayar dua puluh lima juta rupiah. Saya kemudian menenggelamkan diri dalam aktifitas dakwah kampus dan tak pernah belajar (sebuah tindakan salah yang saya sesali kemudian), hingga tibalah suatu masa, Alloh menentukan keputusannya. Saya ditakdirkan lulus, meski dengan nilai sangat pas-pasan. Justru seorang sahabat yang tidak pernah berniat men-DO-kan diri ternyata malah gagal.

Satu bulan setelah wisuda, saya ‘dengan terpaksa’ masuk kantor, menjalani ikatan dnias saya. Mulailah saya menjalani hari-hari yang gamang, memasuki dunia kerja yang tak pernah saya persiapkan sebelumnya, bahkan tidak saya bayangkan sebelumnya.

Ditengah kegusaran dan limbungnya jiwa saya menghadapi hal baru yang tak pernah saya persiapkan sebelumnya, saya ditawari menikah oleh senior saya. Ketika itu saya menjawab tegas: TIDAK! Saya tidak siap menikah sekarang dengan konsekuensi menjadi working mother. Saat itu saya berkata, “Saya nggak sanggup menikah dan bekerja sekaligus mbak. Saya masih butuh waktu untuk membenahi diri dan jiwa saya. Paling tidak dua tahun ini. Karena bagi saya menikah adalah ekspansi dakwah, membangun sinergi bukan pelarian, bukan sarana mencari pertolongan dan penyelesaian masalah”.

Dua tahun kemudian -meskipun saya masih tetap merasa belum siap- saya mulai merasakan kebutuhan fitrah yang kian mendesak. Saya mulai merasakan kesendirian yang menggigit tiap pulang kantor menemukan rumah yang sepi. Saya mulai merindukan tangis anak-anak. Saya merasakan kebutuhan untuk berbagi menghadapi realitas hidup dan kehidupan kantor yang keras. Semua itu menumbuhkan minat saya kembali untuk menikah. Barangkali saya harus mengubah paradigma saya, bahwa menikah tak semata ekspansi dakwah keluar, tapi juga termasuk salah satu alternatif solusi bagi masalah dan kesendirian saya. Betapapun konsekuensi yang harus saya jalani.

Suatu hari di bulan syawal 1421 H, saya bersilaturrahmi, berkeliling mengunjungi rekan-rekan saya yang sudah punya momongan. Selain dalam rangka lebaran, saya berharap memperoleh banyak pelajaran dari kehidupan mereka yang telah melewati satu tahap lebih ke depan daripada saya: fase menikah. Ya, mereka adalah sahabat-sahabat saya yang telah menikah dan punya anak. Mereka tinggal di rumah petak yang hanya terdiri dari tiga kamar, di sebuah gang sempit di pinggiran kota. Mereka tidak punya khadimat, karena sekarang susah setengah mati mencari khadimat. Mereka harus bekerja, karena selain kehidupan mereka sangat sederhana, mereka memang terikat ikatan dinas. Kadang mereka harus membawa adik, saudara, atau orang tua untuk menjaga anak mereka. Bahkan ada di antara mereka yang terpaksa menitipkan anaknya ke tetangga, karena khadimat tiada, sanak saudara jauh di sana.

Kondisi mereka, kehidupan keras yang mereka jalani, kembali menciutkan nyali saya untuk menikah. Saya merasa tak mungkin berani menikah selama saya masih menjalani ikatan dinas saya. Bagaimana mungkin saya mendidik anak-anak saya secara optimal agar mereka menjadi generasi rabbani, jika separoh waktu yang saya miliki saya habiskan di kantor dan perjalanan? Berapa persen waktu dan perhatian yang bisa saya berikan pada mereka jika saya telah kelelahan lahir dan batin? Haruskah saya menjalani kehidupan seperti yang mereka hadapi ? Pikiran-pikiran semacam ini sangat mengganggu saya.

Namun di balik semua itu, saya mendapat pelajaran yang lebih berharga. Saya menyadari kemudian bahwa teman-teman saya adalah wanita-wanita kuat. Bagaimana tidak? Mereka masih muda, otak cukup pintar, sebagian dari keluarga terpandang. Mereka menikah dan memiliki anak, hidup sederhana, tapi tidak menyerah dengan kerasnya hidup yang harus mereka jalani. Mereka bekerja, bukan sekedar bekerja tapi juga berprestasi di kantornya. Mereka bekerja, bukan sekedar menjalani ikatan dinas, namun juga berusaha melakukan sesuatu untuk merubah lingkungannya di kantor. Merubah budaya KKN yang telah berurat berakar. Membawa suasana religius bagi rekan kerjanya. Sementara di luar kantor, mereka berupaya tetap eksis dengan aktifitas dakwah mereka. Mereka berusaha berarti untuk masyarakatnya. Mereka tetap tersenyum, dan berusaha menolong orang lain yang membutuhkan, meski mereka sendiri sebenarnya butuh pertolongan. Mereka tetap tegar dan sangat dewasa dalam usia mereka yang baru 25 tahunan. Bahkan, seorang sahabat saya dengan dua anak kecil-kecil, bekerja, pembantu tidak ada, tetap bersemangat memelihara mimpinya untuk menjadi ahli ekonomi islam, suatu saat nanti. Dia kini kuliah lagi.

Kenyataan-kenyataan tersebut membuka mata saya. Saya tak lagi takut menikah. Dan saya akan menikah, bukan sekedar memenuhi tuntutan fitrah sebagai manusia dan wanita. Tapi karena saya tahu menjadi ibu adalah sebuah profesi tertinggi yang layak untuk diperjuangan. Betapapun saya harus menjadi working mother. Karena hidup akan selalu menghadapi masalah-menikah atau tidak. Bekerja atau tidak. Saya tidak harus menunda menikah hanya karena ikatan dinas yang harus saya jalani. Dan kini saya lebih memilih untuk menikah.

Menikah akan membuat saya matang. Menikah akan membuat saya lebih banyak belajar. Belajar lebih tegar dan dewasa. Belajar berbagi dan tidak egois lagi. Belajar menenggang perasaan orang lain. Belajar memahami orang lain. Belajar bekerja sama dan menyelesaikan masalah. Belajar menanggung permasalahan yang lebih besar. Belajar bertanggung jawab atas semua tindakan. Saya tahu, di balik kerasnya kehidupan yang harus saya jalani, Alloh akan memberi sarana untuk memudahkan, karena Alloh tidak membebani hambaNya melebihi kemampuannya. Seperti kata Miranda Risang Ayu dalam bukunya Cahaya Rumah Kita: Cakrawala selalu mengingatkan bahwa di atas bumi selalu ada ruang tak terbatas. Di atas prasangka-prasangka subjektif yang cengeng tentang ketidakmampuan seorang manusia, ada ketidakterbatasan yang menjanjikan berbagai kemungkinan, termasuk kemungkinan untuk menjadi lebih baik dan lebih mampu. Syaratnya, hanya berusaha bersandar kepadaNya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email anda tidak akan dipublikasikan. Required fields are marked *