Sedikit Tentang Perjalanan Soe Hok Gie

Tidak banyak yang tau sosok Soe Hok Gie. Begitulah kemudian timbul inisiatif bagi rumah produksi Miles Films untuk mengangkatnya ke layar lebar. Selain mengenang “kepahlawanan” Soe Hok Gie (SHG) yang “tidak terakui”, juga menjadikan ia sesosok ikon gigih yang patut diteladani [para mahasiswa dan siapa saja] —terlepas rumah produksi itu akan mengeruk keuntungan dengan mengomresialkan sosok ini. [ternyata ikon kepahlawanan bukan hanya Che Guevara, yah?

produksi itu akan mengeruk keuntungan dengan mengomresialkan sosok ini. [ternyata ikon kepahlawanan bukan hanya Che Guevara, yah?
Benar, sebenarnya saya juga bukan seorang yang tahu akan sosok SHG. Namanya yang asing di telingaku seakan dia adalah tidak begitu penting. Mungkin, inilah realita kita, selalu mengesampingkan “hal-hal asing”. Sehingga tidak sadar, ada yang terlewati ketika membaca sosoknya di sebuah majalah yang pernah saya beli.

Di Barat, telah banyak film yang mengangkat dari kisah nyata. Berderet film inspiratif tokoh-tokoh penting sudah menghiasi layar lebar di sana, bahkan sisi sejarah pun turut diangkat. Seperti kemarin Kingdom of Heaven beberapa waktu lalu yang jadi perbincangan. Film itu mengangkat sejarah perang salib antara Kristen dan Islam.

Kalau kita membaca ulasan, di sana ada alasan yang sama; ingin menghadirkan cerita ini seakan-akan menjadi dekat, sehingga dapat tertanam di benak. Mungkin di sinilah kemudian Miles Films mengikuti jejaknya.

Memang hal ini bukan barang baru lagi, tetapi di Indonesia sendiri hal ini masih langka. Justru yang ada pada waktu adalah film-film dokumenter yang terus diulang; pembunuhan para jenderal oleh ditampilkan secara bengis —yang konon ada kepentingan politik.

Saya tidak ingin mempermasalahkan hal itu. Yang membuat saya penasaran adalah sosok SHG itu sendiri. Siapakah SHG itu? Karena saya teringat pernah membaca ulasannya, saya kemudian “membongkar” buku yang tertumpuk itu.

Di sana tertulis sebuah petikan pengantar:
Tanahku yang malang. Harga barang membumbung, semua makin payah. Gerombolan meneror. Tentara meneror. Semua menjadi teror. Siapakah yang bertanggung jawab atas hal ini? Mereka generasi tua: Soekarno, Ali Iskak, Lie Kiat Teng, Ong Eng Die semua pemimpin yang harus ditembak di lapangan banteng.

Apa yang menarik dari kata-kata itu? Hampir tidak ada. Tapi sadarkah, bahwa tulisan itu ditulis oleh seorang –yang hampir– remaja, pun di zaman yang tidak lazim seusianya? ketika kekuasaan Orde Lama menyengkram, ada nama Soekarno yang dengan lantang ditentang agar di tembak di lapangan banteng! Sungguh beraninya…
Demikianlah SHG, pada usianya yang baru 17 tahun, tepatnya 10 Desember 1959, ia menulis sebuah catatan harian yang luar biasa. Catatan yang kritis, jujur, berani, dan —malah ada yang bilang— “mengerikan”.

SHG adalah keturunan China yang lahir pada 17 Desember 1942. Seorang putra dari pasangan Soe Lie Pit —seorang novelis— dengan Nio Hoe An. SHG merupakan adik dari Soe Hok Djie yang juga dikenal dengan nama Arief Budiman.
Sejak masih sekolah, SHG dan Soe Hok Djin sudah sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta. Menurut seseorang peneliti, sejak masih Sekolah Dasar (SD), SHG bahkan sudah membaca karya-karya sastra yang serius, seperti karya Pramoedya Ananta Toer. Mungkin karena Ayahnya juga seorang penulis, sehingga tak heran jika dia begitu dekat dengan sastra.

Sesudah lulus SD, kakak beradik itu memilih sekolah yang berbeda, Hok Djin (Arief Budiman) memilih masuk Kanisius, sementara SHG memilih sekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Strada di daerah Gambir. Konon, ketika duduk di bangku ini, ia mendapatkan salinan kumpulan cerpen Pramoedya: “Cerita dari Blora” —bukankah cerpen Pram termasuk langka pada saat itu?
Pada waktu kelas dua di sekolah menangah ini, prestasi SHG buruk. Bahkan ia diharuskan untuk mengulang. Tapi apa reaksi SHG? Ia tidak mau mengulang, ia merasa diperlakukan tidak adil. Akhirnya, ia lebih memilih pindah sekolah dari pada harus duduk lebih lama di bangku sekolah. Sebuah sekolah Kristen Protestan mengizinkan ia masuk ke kelas tiga, tanpa mengulang.

Selepas dari SMP, ia berhasil masuk ke Sekolah Menengan Atas (SMA) Kanisius jurusan sastra. Sedang kakaknya, Hok Djin, juga melanjutkan di sekolah yang sama, tetapi lain jurusan, yakni ilmu alam. [saya tidak tahu, apakah waktu itu juga ada jurusan-jurusan seperti sastra? Padahal baru di SMA.

Selama di SMA inilah minat SHG pada sastra makin mendalam, dan sekaligus dia mulai tertarik pada ilmu sejarah. Selain itu, kesadaran berpolitiknya mulai bangkit. Dari sinilah, awal pencatatan perjalanannya yang menarik itu; tulisan yang tajam dan penuh kritik.

Ada hal baik yang diukurnya selama menempuh pendidikan di SMA, SHG dan sang kakak berhasil lulus dengan nilai tinggi. Kemuidan kakak beradik ini melanjutkan ke Universitas Indonesia. SHG memilih ke fakultas sastra jurusan sejarah [bener gak ya?], sedangkan Hok Djin masuk ke fakultas psikologi.

Menginjak dunia kampus Universitas Indonesia, SHG tumbuh menjadi mahasiswa yang kritis. Mungkin sudah menjadi hal yang lumrah sebagai mahasiswa —konon sedang dalam masa pencarian diri— remaja selalu mempunyai semangat juang yang dahsyat. Benih-benih ketidaksetujuan pada ideologi Soekarno mulai bersemi. Sebagaimana dikutip pada posting sebelumnya, Soekarno dianggap orang yang telah menindas rakyat kecil dengan situasi kenegaraan yang kalut dan teror di mana-mana.

Pada saat yang sama —di mana ia terus meneriakkan pada perjuangan orang-orang tertindas— ia mendapat pandangan buruk, yakni dari kalangan anti-China. Hal itu membuatnya bergerak untuk bergabung dengan pergerakan politik. SHG kemudian aktif dalam manuver politik di kalangan masyarakat etnis China Indonesia. Dari sinilah ia kemudian berkenalan dengan Onghokham dan Tan Hog-gie. SHG mendukung persatuan etnis China dan aktif dalam sebuah lembaga yang bernama LPKB (Lembaga Kesatuan Bangsa). Ini merupakan pengalaman pertama dalam kegiatan politik. Ia juga menjadi dewan redaksi Gelora Minggu, mingguan yang terbit untuk mendukung kerja LPKB.

Selama kuliah, SHG semakin menonjol sebagai aktivis politik [mungkin juga berhubungan dengan dunia politiknya bersama etnis China?] baik di kampus maupun politik praktis. Ia sempat terjebak dalam persaingan politik kampus antara HMI dan GMNI. Tapi untunglah, SHG dapat menjaga idealismenya sebagai aktivis yang merdeka dan tidak turut terpengaruh oleh pergolakan itu. Bahkan, kemudian selanjutnya ia dikenal sebagai salah satu tokoh “golongan independen” di fakultasnya lewat kelompok pecinta alamnya.

Kemerdekaan dalam bersikap membentuk sebuah kelompok sendiri, yakni kelompok pendaki gunung dan pecinta alam fakultas sastra. Kelompok pecinta alam ini tidak hanya mengembangkan aspek teknis pendakian dan “mengalahkan” alam, tetapi juga persahabatan yang bebas, spontan, yang terbentuk dari perjalanan pendakian mereka. Cita-citanya adalah kehidupan yang sederhana, sehat, berani, bersahabat, dan mencintai alam. Namun lambat laun, perkumpulan yang diikutinya tidak lurus dengan apa yang diyakininya —mungkin banyak faktor yang mempengaruhi.

Pada akhir Desember 1969, karena kecewa dengan penghianatan terhadap prinsip independensi intelektual yang dilakukan teman-temannya, SHG ikut serta dalam “lelucon politik”. Bersama kawan-kawannya yang masih independen, dia mengirimkan bingkisan “Lebaran-Natal” kepada 13 perwakilan mahasiswa yang duduk di kursi dewan. Bingkisan itu berisi lipstik, cermin, jarum, dan benang. Bersama dengannya ada juga pesan sindirian. Salah satu bunyi pesan itu adalah: “bersama surat ini kami kirimkan kepada Anda hadiah kecil kosmetik dan cermin sehingga Anda.. dapat membuat diri kalian menarik di mata penguasa … bekerjalah dengan baik, hidup Orde Baru! Nikmatilah kursi Anda, tidurlah dengan nyenyak!”

Barangkali karena kepengapan politik yang penuh kemunafikan inilah yang membuat SHG dan kawan-kawannya berencana untuk mengundurkan diri sejenak, membersihkan hati mereka dari “lumpur-lumpur politik” dengan mendaki Gunung Semeru di Jawa Timur. Pada tanggal 12 Desember, SHG bersama Aristides Katoppo, Abdurrachman, Antonius Wijana, Freddy Lasut, Rudy Badil, Herman Lantang, dan Idan Lubis berangkat menuju Malang. Mereka mulai mendaki dari Gubukklakah dua hari setelahnya.

Pada sore 16 Desember 1969, kelompok ini sampai di Kawah Mahameru —yang masih aktif dan sering menyemburkan asap. Karena hawa dingin, kelompok ini memaksa mereka untuk mencari tempat perlindungan. Pada saat berlindung inilah Herman Lantang memperhatikan tubuh SHG tampak menggigil dan mulutnya mulai meracau. Sesaat kemudian kejang-kejang dan jatuh kaku tak bergerak di pelukan Herman. SHG meninggal tepat sehari sebelum uang tahunnya yang ke-27.
Selama beberapa hari Herman Lantang menunggui jenazah SHG di puncak sambil menunggu regu penyelamat. Pada 23 Desember barulah tim penyelamat brhasil mengevakuasi jenazah SHG. Sehari setelahnya, jenazah SHG dibawa dengan pesawat Hercules menuju Jakarta. Ia dimakamkan di Menteng Pulo, sebelum kemudian dipindah ke Tanah Abang. Di batu nisannya tertulis kata-kata favoritnya, “Nobody knows the trouble I see, nobody knows my sorrow.”

Pada 1973, sekelompok Mapala mendaki semeru dan mendirikan tugu peringatan dengan batu pualam putih di puncak gunung sebagai tanda penghormatan sahabat mereka yang telah tiada.
Pada 1975 pemda DKI merencanakan makam Tanah Abang akan dibongkar. Keluarga SHG kemudian mengkremasinya dan abunya dibawa ke teman-temannya yang kemudian disebarkan di tempat favoritnya untuk menyendiri, Lembah Mandalawangi, di Puncak Pangrango.

SHG meninggalkan banyak karya tulis berupa artikel, buku, monograf dan lain-lain, antara lain Di Bawah Lentera Merah, Riwayat Sarekat Islam Semarang 1917-1920 (1964), sebuah studi kritis tetapi simpatik terhadap kelompok radikal di Semarang, diterbitkan oleh Yayasan Frantz Fanon (1990), Simpang Kiri dari Sebuah Djalan (1969), skripsi sarjana, dan banyak artikel yang dimuat di Sinar Harapan, Kompas, Mingguan Djaja, Mahasiswa Indonesia, Bara Eka, Indonesia, Gema Psychologi, Mapala, Indonesia Raya, Komunikasi, Alma Mater, Quadrant, Harian KAMI, dan lain-lain. Catatan Hariannya diterbitkan oleh LP3S pada 1983 dengan kata pengantar Daniel Dhakidae. Kemudian buku yang berjudul Catatan Seorang Demonstran di terbitkan kembali [cetak ulang] beberapa waktu lalu, bersampul wajah Nicholas Saputra. Dan perjalanannya di-film-kan.

Di ambil dari (www.kammi.or.id)

Tinggalkan Balasan

Alamat email anda tidak akan dipublikasikan. Required fields are marked *