Tentang cinta

Cinta adalah fitrah manusia. Manusia yang tidak punya rasa cinta, dia tidak normal. Namun, terkadang cinta dapat menyengsarakan jikalau tidak pandai menyikapinya. Beruntunglah bagi orang yang memiliki cinta dan pandai memenejnya, sebaliknya, kasihan benar orang yang kurang pandai dalam memenej cinta. Lanjutkan membaca →

Tentang masalah

Ada pepatah mengatakan “Barang siapa yang menyelesaikan suatu pekerjaan, maka dialah yang akan mengaturnya”. Setelah direnungkan, benar juga pepatah tersebut, walaupun tidak seratus persen kebenarnnya.
Ternyata, didalam hidup ini teramat banyak yang harus kita kerjakan. Segala persoalan hidup menuntut untuk diselesaikan, dan rupanya hal tersebut harus benar-benar ditanggapi dengan serius jika tak ingin menjadi masalah dalam hidup. Lanjutkan membaca →

Untuk Dhillah, kemarin, hari ini, dan nanti…

Adalah hal yang berbeda saat dulu dan hari ini
Haru yang membiru, dan kisah yang tak kunjung usang
Kita melangkah tanpa arah
Tak terpikir saat nanti, hanya jalani hari

Adalah hangat jiwamu pernah selimutiku
Tertuntun hati ini untuk selalu ingatmu
Terbuang segala pikir tentang khabar liar
Siapapun cemburu menatap kita

Adalah cintaku yang terlalu
Dan cintamu yang membawa kasih tiada henti
Sikap sifat tulus selimuti setiap detik yang terlewati
Dengan segala wewangian yang terhembus dalam setiap janji

Adalah waktu yang mampu merubah segala
Cinta yang sempurna – ku tak pernah menyangka – mampu dileburkannya
Aku yang sendiri tanpa mampu menyadari
Dan kau yang tertatih dengan hati yang perih

Adalah hal yang tak terduga kita berjumpa kembali
Di atas segala rindu tentangmu
Di dalam segala gebu mengingatmu
Sesaat saling memandang, tersenyum, dan menyapa
Berbicara sekedarnya, lalu kembali berpisah
Dan ku tak pernah tahu ke mana arahmu
Dan ku tak pernah berani menebak isi hatimu

Adalah mungkin dendam masih meraja
Membalas segala perih tentang masa lama
Dan aku telah menyesal sejak lama
Andai ku dapat memperbaiki segalanya…

Hmmm…
Mungkinkah malam tadi dapat menjadi awal kembalinya bahagia
Atau awal dari segala bencana
Karma…

[Untuk Dhillah, kemarin, hari ini, dan nanti…]

Ku kira ku berbeda

Aku terlarut dalam rasa yang terhanyut
Dalam waktu yang berlari ku tertatih
Bersama angan palsu, asa tanpa malu
Sementara kereta terus melaju

Dalam berbeda, kau hadiri tatapku
Dan bertahan, terus menahan
Berlalu dalam bisu

Asapmu buatku sesak
Dan terjerat dalam candu
Lalu kembali hadir dalam bisu
Dan tetap seperti hari-hari yang terlalu
Kau berbisik dalam mimpi
Dan ku tersadar dalam sendiri, sepi…
Dalam jingga dan segala warna
Dalam kelam satu sisi jiwa

Jutaan detik tersia dalam bara mimpi
Dan terus menyaksikan kau menari
Menari dalam lagu yang tak ku mengerti
Lalu kembali kau menghilang untuk waktu yang lama
Dan sampai nanti, ku tetap tersia dalam bara mimpi

Enyah bersama deras…
Ku ingin nikmati hari
Lalu aku merasa berbeda…
Ku kira ku berbeda!
Ah, ternyata aku hanya seorang pria yang putus asa…

Tak dapat kuberi judul

Dimusim dingin, aku hanya dapat berlindung dibalik dedahanan,
Air mata yang jatuh tak juga dapat mencairkan salju dibawaku,
Tuan, datangkanlah sinar yang dapat menghangatkan tubuhku,
Dan mencairkan salju-salju disekelilingku.

Tuhan, aku melihat sinar dijauh disana,
Kuyakin sinar itu perlahan-lahan kan menghampiriku
dan menghangatkanku
Dan kudapat terbang kembali, bermain bersama teman-temanku,
Bebas mengepakkan sayap dan berayun-ayun diatas dahan,
bernyanyi ceria,

Tuhan, kulihat cahaya itu semakin mendekat,
Tapi kumerasa sangat dingin ?

Terimakasih, Tuhan, kini cahaya itu berada tepat diatasku,
Dan kumerasakan hangat, dinginku lenyap seketika,
Tetapi … kemana salju yang berada dibawahku
kemana dahan yang sedang kupijak, Tuhan

Suara ???

Mengalah pada hati
Bohongi diri
Atau mengalah pada emosi (?)

Tercuri satu
Yang lain tetap utuh
Daripada kedua-duanya
Ya, lebih baik seperti itu

: Tak ada yang tahu
Tak ada yang mengerti
Legaku …

Biar sendiri

: Ada yang bermakna
Ada yang tak berarti
Kadang tertipu

Bukan pada hati …
mungkin …

Seperti itu …
itu saja …

Kukira ia Dhillah

Sebuah pesawat canggih melintas diantariksa,
jauh dari bumi tempat manusia berkumpul

Aku berada diantaranya

Riuh bocah bumi senandungkan lagu tempe bongkrek
Dan rangkaian kalimat-kalimatku mulai sulit dimengerti

Lalu datang pesawat singgah
Kukira adalah dhillah
Kuhentakkan kakiku hingga bergetar seluruh nadi
Belum sempat senyum tersembul, kutersadarkan dari mimpi

Ya, mimpi indah antariksa buyar seketika
Beralih kemimpi buruk dunia fana yang memang nestapa

Kusalah duga
Kukira dia Dhillah

Dan kini, antariksa nyata telah kembali berada dikelopak mata

Puisi Haiku

Hening diri memutar sesuatu didiriku pada masa lalu
Memperkosa jari-jari tanganku untuk beraiku
Ada yang menjadi beku didiriku
Aku menjadi seseorang yang melancholish

Hantu, hantu …
Datanglah padaku
Mengapa kalian hanya datang bertiga ?

Kegelapan dimensi entah keberapa hadir
indera-inderaku pun gelagapan

Bambu …
Kucoba memasuki lubangnya
memasung diriku sendiri
Ah, dasar bambu lemah, kau pecah !

Makhluk aneh yang telah lama tak kujumpa kini hadir dipelupuk mata
Sentuhi tepat didadaku
Aku kan tidak mengundangmu !
Enyah !

Seseorang gadis dengan sebuah nama hanya melintas saja
Mengganggu aku yang sedang semedi digua hirarki
Kesaktianku lenyap, ego membara …
Dan lagi-lagi haiku tak hanya sebatas bait syair dari gerak jari
Tapi juga adalah hidupku sendiri
Ya, paling tidak hidupku hari in

Bukan Rayuan

Nona, bolehkah aku menjemputmu sore ini?
Menjemputmu kembali setelah ku meninggalkanmu semalam?
Atau kau telah membayar mahal orang lain untuk melakukannya?
Ah, Nona…
Semalam hanya setitik hitam dari hamparan luas jalan yang kita lalui
Jalan yang tak harus selalu mulus teraspal
Terkadang harus ada lubang-lubang, atau kumbangan air comberan
Nona, maukah nanti sore kau kembali ku jemput?
Lalu kita pulang berjalan kaki?
Lalui jalan aspal kota ini
Dan kaki kitapun lalu pegal… Ah, itu ‘kan sudah biasa, bukan?
Mari buat iri sepasang kekasih dalam mobil mewah itu
Dan biarkan keringat menjadi saksi cinta kita, bukan tetesan bensin yang terbakar
Dan seperti biasa, tepat disebuah restoran mewah itu ada kedai bakso sederhana
Satu mangkuk cukup ’kan?
Karena kau makan tidak pernah banyak
Satu mangkuk untuk berdua, agar esok masih bisa kita beli bakso ini lagi
Dan tetap makan bakso itu disini, sampai kita temukan lagi tempat lain yang lebih murah
Lalu, sesampai didepan teras rumahmu, seperti biasa kau akan tersipu menyuruhku duduk
Dan aku tetap berdiri, lalu mengedipkan mata dan pergi
Malamnya kita sama-sama bermimpi semua yang kita lalui dijalan tadi
Dan esok pagi ku kan datang menjemputmu, mengantarkan kau sekolah
Biarkan guru marah karena kau sedikit terlambat datang
Yang penting kita bisa berbicara banyak hal dijalan
Lagipula, kau akan berada disekolah ini sampai lama, sampai sore, dan aku menjemputmu
Dan aku pulang ke rumah dengan hati senang meninggalkanmu dalam keadaan senang
Lalu, bolehkah aku kembali menjemputmu sore ini?
Menjemputmu kembali setelah ku meninggalkanmu semalam?
Atau kau telah membayar mahal orang lain untuk melakukannya?
Ah, Nona…
Semalam hanya setitik hitam dari hamparan luas jalan yang kita lalui
Dan akan masih banyak kerikil didepan…

Ada apa?

Semuanyakan telah aku percayakan padamu…
Tentang cinta, kasih sayang, dan pengorbanan
Terserah kau pula mau buat apa padaku
Menyuruhku tersenyumkah, atau menangis tersedu, lalu tertawa
Menyuruhku berdirikah, duduk lalu berlari
Aku tak pernah peduli yang akan dilalui
Selama itu adalah perintahmu
Tapi pagi tadi kau diam saja?
Ada apa?
Sudah enggankah kau memberi titah?
Kalau benar begitu, ada apa?
Dan seperti biasa, aku tak berani bertanya
Aku turut terdiam disudut menunggu kau bicara
Dan kau tetap tak bicara jua
Dan kan tetap berdiri sampai nanti
Sampai harap tiada lagi
Tapi, bicaralah…
Atau sekedar melentikan jari menyuruhku melakukan sesuatu
Atau kerutkan dahi dan siniskan mata dan senyummu, lalu usir aku
Aku akan pergi, dan untuk waktu yang lama takkan kembali
Atau… Atau kau suruh aku untuk diam, maka aku akan diam tanpa bertanya
Dan itu untuk waktu yang lama, sampai terdengar lagi titah yang lain
Atau sekedar gerakan dari lentik jari
Tapi, kau tidak melakukan itu juga…
Tak bicara, melentikan jari, dan dahimu tetap biasa, wajah tetap biasa, mata tetap biasa
Sungguh, walaupun aku benci, tapi saat ini yang salah satu hal yang paling kunanti adalah kecutmu
Sungguh, walaupun aku benci, tapi saat ini yang salah satu hal yang paling kunanti adalah sinismu, bahkan usiranmu untukku untuk waktu yang harus lama
Aku tak pernah ingin kau menjauh dari jiwaku dengan sendirinya
Aku yang akan menjauh darimu
Untuk kemudian nanti mendekat kembali
Disaat kau tak lagi mengingatku
Atau disaat kau teramat sangat merindukanku dan menyesali semuanya
Namun, itu semua khayalan
Kau tetap diam
Ada apa?
Dan tetap saja aku tak berani bertanya…
Dan tetap kunanti titahmu itu di sudut ini…