REALITAS KEMATIAN DAN REFPLEKSI TAHUN BARU

Dalam kondisi kecemasan dan kegelisahan karena
dibayang-bayangi ketakutan akan kematian dan tempat
peristirahatan terakhir di dunia, mereka justru
mengangkat citra menakutkan melalui kisah misteri
tentang ruh yang telah meninggalkan jasad, kisah hantu
gentayangan yang tertuang lewat sinetron-sinetron
televisi. Mereka terus menerus memproduknya untuk
memperoleh pembenaran atas ketakutan terhadap kawasan
yang disebut pemakaman manusia tersebut.

Sudah menjadi kenyataan bahwa manusia harus mati,
yaitu terpisahnya ruh dan dzat, jiwa dan badan.
Kematian yang dilukiskan sebagai akhir dari satu
kehidupan dan awal dari kehidupan yang lain adalah
suatu keniscayaan yang tidak bisa diganggu gugat.
Semua makhluk yang bernyawa, tanpa kecuali, akan
menjumpai dan menghadapi kepastian itu, meskipun
dengan cara berbeda dan situasi psikis yang berbeda
pula. Ada yang menempuhnya dengan kemuliaan dan
menjumpainya dengan kebahagiaan sehingga ingin mati
berkali-kali. Adapula yang menempuhnya dengan kehinaan
dan mejumpainya dengan penuh penderitaan.

Bagaimanapun cara kematian menjemput manusia, hal itu
adalah sebuah realitas yang tidak dapat dirubah dan
dihindari oleh siapapun. Ia adalah bagian tak
terpisahkan dari peristiwa yang melekat pada struktur
kehidupan; bagian dari sunnatullah, hukum penciptaan
yang berlaku bagi setiap manusia. Kedatangannya selalu
tepat waktu, tidak pernah mundur atau maju walaupun
satu saat, dan tidak ada seorangpun yang mampu
menghambat kedatangannya.

Kendati kematian merupakan peristiwa alamiah, namun
tetap mengandung misteri yang hakikatnya belum
terpecahkan oleh akal dan pengetahuan manusia.
Akibatnya tidak sedikit manusia yang berpandangan
salah terhadap realitas ini, kemudian memunculkan
sikap yang salah pula.

Dalam peristiwa kematian, terdapat hikmah Illahiyah
yang sangat besar, yang tersembunyi di balik pemberian
dan penarikan kembali kehidupan yang mengakibatkan
kematian. Menurut Sayyid Quthb, kemaslahatan manusia
terwujud pada pengembalian dan pemberian ini. Di
dalamnya terdapat rahasia ilmu Tuhan yang pintunya
tidak dibukakan kepada akal / pengetahuan manusia, dan
hanya teka-teki yang hanya dapat dijawab oleh orang
yang memiliki bashirah

cemerlang. Sejauh akal manusia, yang serba terbatas
menyelami kedalamannya, sebatas itu pula ia terdampar
dalam kedangkalan akalnya.
Sayyid Quthb menjelaskan bahwa mati adalah suatu
kepastian yang tidak ada kaitannya dengan perang atau
damai, tempat yang kokoh atau sederhana, dan ada atau
tidaknya upaya untuk memepercepat atau
memperlambatnya. Jika kematian itu datang, maka
datanglah ia. Banyak orang yang beranggapan bahwa
perang adalah arena kematian (dalam batas tertentu
pandangan ini tentu mengandung kebenaran), meskipun
pada nyatanyanya ranjang, kamar mandi dan tempat yang
aman lainnya bisa menjadi medan kematian. Karena itu,
nilai seseorang tidak terletak pada umurnya yang
panjang, melainkan pada amalnya yang baik.

Sejatinya, kematian yang hanya dialami manusia satu
kali dalam hidupnya di dunia bukanlah kesudahan,
kehancuran dan kemusnahan. Ia adalah sebuah peralihan
dari satu dunia ke dunia yang lain, dari satu keadaan
ke keadaan yang lain. Bagi kaum mukmin, kematian
justru memberi harapan indah untuk memulai hidup yang
haqiqi di akhirat nanti. Oleh karenanya, sangatlah
tercela orang yang menemui kematiannya dengan cara
yang salah; bunuh diri, atau membunuh orang lain di
luar pembenaran agama.

Kendati kematian, dalam sejarah kehidupan manusia,
merupakan sebuah peristiwa keseharian yang melekat
dalam struktur hidupnya dan dapat ditemukan kapan
saja, dimana saja, dan dalam kondisi apa saja, tetapi
ia tetap menjadi sesuatu yang asing bagi dirinya,
tetap saja banyak orang –yang entah apa alasanya-
mencemaskan kedatangannya.

Ironisnya, dalam kecemasan dan kegelisahan karena
dibayang-bayangi ketakutan akan kematian dan tempat
peristirahatan terakhir di dunia, mereka justru
mengangkat citra menakutkan melalui kisah misteri
tentang ruh yang telah meninggalkan jasad, kisah hantu
gentayangan yang tertuang lewat sinetron-sinetron
televisi. Mereka terus menerus memproduknya untuk
memperoleh pembenaran atas ketakutan terhadap kawasan
yang disebut pemakaman manusia tersebut. Meskipun ke
tempat itulah mereka akan berbaring dan sekaligus
beristirahat setelah sekian lama menanggung keletihan
dan kepayahan selama hidup di dunia.

Agaknya kenyataan ironis tersebut, menunjukkan bahwa
kesadaran sebagian orang telah tertutup oleh pesona
dunia; hiruk-pikuk kehidupan yang menekan; dan oleh
kekalutan mental yang mereka hasilkan sendiri.
Akibatnya, hati mereka menjadi buta disebabkan oleh
kegandrungannya kepada hiasan dunia yang tak
henti-henti menimbunnya. Akhirnya, mereka tenggelam
dalam lautan dunia dan sibuk memenuhi nafsu
keserakahan dan semangat hedonistiknya.

Ketika manusia tenggelam dalam lautan kehidupan dunia
dan terlena dalam kesibukan luar biasa untuk memenuhi
hawa nafsu hedonistiknya (yang menuntut pengerahan
seluruh tenaga dan waktu yang dimilikinya), ia akan
diserang penyakit lupa terhadap tempat kembalinya yang
haqiqi; yang selalu menungguya dan menjadi terminal
akhir penentuan nasibnya.

Tahun baru merupakan peristiwa peralihan dari satu
masa ke masa lain, dari usia muda ke usia selanjutnya,
yang substansinya peristiwa ini setahun lebih cepat
menemui dan menjumpai kematian. Ironisnya peristiwa
pergantian tahun baru yang semestinya dijadikan arena
tafakur dan evaluasi diri; berapa juta harta yang
didapat lewat jalan korupsi, amanah yang tidak
dipenuhi, janji yang tidak ditepati, bawahan (rakyat)
yang tersakiti, dan kedzoliman-kedzoliman yang telah
dilakukan pada orang lain yang tanpa disadari, dan
berapa tetes saja kebaikan yang sudah diperbuat.
Sebaliknya peristiwa tahun baru malah diisi dengan
cara yang salah; pesta di sana-sini, pemubadziran
materi, dan hiruk pikuk gemerlap dunia glamour, di
sisi lain peristiwa ini diisi dengan kebebasan dan
pemenuhan hawa nafsu yang tak terbatas.

Sudah sepantasnya, bangsa Indonesia yang didera krisis
multidimensi; ancaman terrorist, bencana alam,
kriminalitas, prilaku seks bebas, lewat pemimpin
negaranya mengadakan satu perenungan massal dan taubat
nashuha secara menyeluruh di berbagai pelosok kota.
Sehingga, peristiwa kematian merupakan media yang
ditunggu dan dirindu untuk segera menjumpai Tuhan,
hijrah ke dunia yang lain dengan senyum dan
kebahagiaan, dengan jiwa dan hati bersih kita ikhlas
menghadap sang Kholiq. Wallahu a’lam bish-shawab

ANAS NASHRULLAH KH, SH

1 Comments

  1. I don’t think I’ve never learned anything like this before. So nice to find someone with some unique thoughts on this subject. I really thank you for beginning it. This website is something that’s needed on the net, somebody with a little bit originality.

Tinggalkan Balasan

Alamat email anda tidak akan dipublikasikan. Required fields are marked *