Renungan: Pekerja Kemanusiaan, Iblis atau Malaikat(?)

Di pagi hari yang cerah ini, di saat weekend, saya membaca resensi
bagus dari sebuah buku, saya sebenarnya sedang mencari buku ini,
sebuah buku yang wajib dibaca orang2 seperti saya, para pekerja
kemanusiaan, supaya nurani tetap terasah, jiwa tetap dapat melihat
mana kegelapan mana cahaya terang. Buku ini di tulis oleh J.
Sumardianta, di tahun 2006 pasca gempa mengguncang kota gudeg
Yogyakarta, buku ini lebih indah untuk dibaca daripada annual report
kami yang bercerita tentang keberhasilan organisasi kemanusiaan kami
mencapai beberapa target dari Millenium Development Goals United
Nations, karena J. Sumardianta menulis berdasarkan kegelisahan hati
nuraninya, sedangkan buku laporan tahunan kami ditulis berdasarkan
kegelisahan hati para team fundraising; “bagaimana menarik simpati
hati dan simpati donor, baik; individu, institusi, maupun swasta agar
menyumbang lebih banyak dan lebih banyak lagi”.

Saat ini saya berada di sebuah tempat, di mana kegiatan kemanusiaan
sepertinya kehilangan esensi awalnya; membantu sesama dan memuliakan
kehidupan orang yang kita bantu. Kadang saya berpikir; sudahi semua
ini, dan kembalilah hidup normal seperti sediakala, seperti saat saya
belum mengenal apa itu lembaga bernama humanitarian relief NGOS’s dan
sebangsanya, tapi pikiran ini selalu berkata; “lakukan sesuatu
terlebih dahulu untuk memperbaiki sesuatu yang sepertinya tidak pada
tempatnya, sebelum akhirnya memutuskan hijrah, jika memang akhirnya
sang Ilahi Rabbi menakdirkan kita harus berhijrah ke persinggahan
berikutnya”.
Saya tak pernah sekalipun bermimpi apalagi berniat berada di sini, di
tempat ini, organisasi ini, cita2 saat tamat kuliah dulu adalah
minimal menjadi Kepala Cabang di sebuah Bank terkemuka di saat usia
ini menginjak kepala 40 tahun, dan kemudian menjadi Presiden Direktur
Bank terkemuka di saat usia menginjak 50 tahun, “mimpi gila” dari
seorang anak muda yang baru lulus kuliah di awal tahun 1990-an,
kegilaan yang sah2 saja, karena konon; “banyak orang yang mencapai
taraf hidup terbaiknya di dunia ini kerena suka bermimpi gila, dengan
mimpi gilanya orang2 sukses bekerja keras”, kata seorang kawan saya
yang menjadi Trainer Motivasi.

Walau saya sudah punya mimpi gila, suratan takdir menggariskan lain,
saya terdampar di sebuah tempat yang dahulu selalu saya pikirkan
sebagai tempat terburuk di dunia, karena di tempat itulah orang2
senang sekali mengenakan berbagai topeng di mukanya agar tampak
seperti malaikat. Tapi lihatlah sekarang; “saya seperti terkena karma,
malah ikut2an memakai berbagai topeng tersebut agar tampak seperti
malaikat”.

Deadline pelaksanaan project sesuai proposal, target distribusi
bantuan sesuai deadline, visibility, harapan donor, target
fundraising, serta persaingan antar lembaga amal, membuat saya merasa
kehilangan esensi dari pekerjaan ini pada akhirnya ,saya sering
bertanya2 dalam hati; “apakah saya lebih hina daripada para pekerja
bisnis yang mencurahkan hidupnya demi keuntungan dan kemajuan usaha
pemilik modal sehingga mereka terkadang menghalalkan segala cara?,
jika dulu saya meragukan apakah rejeki yang saya terima tiap bulan itu
berasal dari bisnis yang halal karena ada praktek2 yang agak
bertentangan dengan kata hati, maka sekarang saya ragu; apakah rejeki
yang saya terima tiap bulan ini benar2 merupakan hak saya sebagai
bagian dari sebuah komunitas amal yang para pekerjanya disebut tenaga
amilin, jangan2 saya sama saja bahkan lebih hina daripada pekerja para
pebisnis yang suka menipu dan melakukan apa saja demi tercapainya
target kerja, jika mereka (mungkin) memakan uang haram hasil dari
proses bisnisnya, maka saya memakan hak fakir miskin dan anak yatim.

“Pada minggu pertama setelah gempa, sebelum dapur umum menyala dan
persediaan bahan mentah masih langka, operasi nasi bungkus sangat
membantu. Bila tidak, kelaparan bakal meluas dan anak-anak kekurangan
gizi. Tindakan ibu-ibu laskar nasi bungkus tunamodal berjibaku siang
malam kurang tidur hanya mengandalkan penyelenggaraan Ilahi adalah
inti jiwa relawan sosial. Paradoks dengan operasi lembaga swadaya
masyarakat (LSM) internasional yang kebanyakan siap dengan cadangan
dana besar, tetapi malah menghambat kerja cepat pada tahap emergensi.
Emergensi butuh tindakan cepat, tepat, berharkat, bukan lamban, dan
memaksakan selera. Perilaku terpuji para korban yang berdaya tahan
justru dengan telak mempermalukan para pebisnis bantuan dan
kemanusiaan. Di Kampung Semaki, Umbulharjo, Yogyakarta, banyak
orang-orang kecil berjiwa besar: tukang becak, penjual gorengan, buruh
angkutan, pelayan toko, buruh pabrik dan bangunan, pun tukang parkir.
Semangat kerja, tolong menolong, dan kejujuran mereka luar biasa dalam
tanggung renteng membangun pondok bambu.

Realitas budaya masyarakat Semaki ini tentu bertolak belakang dengan
proyek pembangunan rumah dome di Prambanan yang dikerjakan LSM
Amerika. Bentuknya indah untuk burung merpati. Sempit dan gerah dihuni
manusia. Penghuni butuh penyesuaian sosial luar biasa. Dibangun di
hamparan tandus. Rumah model iglo Eskimo yang hanya cocok untuk kutub
utara bersuhu 10 derajat di bawah nol disalin mentah-mentah untuk
masyarakat daerah lintasan khatulistiwa bersuhu di atas 20 derajat.
Butuh mesin pendingin ruangan agar teduh” (J. Sumardianta, 2006).

Boleh jadi saya (mungkin) lebih hina dina daripada semua yang paling
hina dina di dunia ini; karena saya menjadi bagian dari team yang
bertindak dan berbicara seperti malaikat, tapi pikiran ini adalah
pikiran iblis, kami tak pernah peduli (walau hati nurani ini
menginginkannya) , apakah orang2 dan komunitas yang kami bantu menjadi
lebih baik kehidupannya atau lebih menderita setelah di bantu, kami
hanya peduli; “mari habiskan budget kita, karena kalau tak habis kita
harus mengembalikan uang tersebut, dan tahun depan donor tak mau lagi
mengirimkan dananya, ayo buat laporan yang lebih bagus pasca kegiatan
agar donor mengalirkan lebih banyak uangnya tahun depan”. Dalam suatu
kesempatan diskusi seorang kawan yang bekerja di NGO’s lain bercerita;
ia pernah menemani salahsatu expatriate-nya untuk mengambil angle raut
muka beneficiary yang sudah mereka berdayakan untuk keperluan laporan,
sang beneficiary harus berpose berulang kali agar angle wajah memelas
dan memilukan diperoleh, agar berkesan mendalam saat di muat pada
annual report atau website katanya. Wah, pantas J. Sumardianta
menyebut dalam bukunya; kami adalah iblis2 yang berjubah seperti
malaikat, lalu lantas ke mana makna Code of Conduct yang sudah
ditetapkan dan disepakati secara internasional oleh lembaga-lembaga
bantuan kemanusiaan itu kalau begini faktanya?.

Bencana itu musibah sekaligus berkah. Kepedulian terhadap kemanusiaan
bisa dilatarbelakangi kepentingan politik, bisnis bantuan, dan
berbagai semangat filantropis berlumuran pamrih. Misalnya, kepedulian
merancang perumahan di Aceh pascatsunami dan rumah tahan gempa yang
menutup mata terhadap kearifan lokal. Kepedulian semacam ini tak
ubahnya burung gagak hendak berpesta pora memangsa bangkai yang
membelasah di wilayah bencana. Aparat pemerintah, aktivis LSM, dan
donatur internasional semua bergerak atas nama kemanusiaan. Mereka
bisa berperan sebagai iblis, perusak bumi, dan pendewa materi.
Membonceng ideologi kemanusiaan untuk melakukan kejahatan yang
mencederai kemanusiaan. Bisa pula berperan sebagai malaikat,
pemelihara lingkungan, dan penyayang korban.

Di tengah semarak penanganan bencana, menurut Dr Susetiawan, Kepala
Pusat Studi Kawasan dan Pedesaan Universitas Gadjah Mada (UGM), dalam
kata pengantar, iblis berkedok malaikat memang bergentayangan di
mana-mana. Mereka melupakan kearifan lama bahwa “tidak ada saku dalam
kain kafan penguburan”. Keunggulan komparatif bangsa yang bertengger
di jalur gebalau alam dahsyat tak lain masih adanya manusia-manusia
suka bekerja keras, tulus, ikhlas, jujur, hemat, dan pantang serakah
mengail di air keruh berbisnis penderitaan manusia. (J. Sumardianta, 2006)

Apakah kami (saya) seperti itu?, silahkan pembaca simpulkan sendiri,
mungkin beberapa pembaca ada juga yangberprofesi seperti saya, atau
bahkan membenci profesi seperti saya, mudah2an hanya organisasi kami
saja yang seperti itu, tapi di lubuk hati yang terdalam; saya ingin
menjadi malaikat2 itu, sesuai janji istana iblis kemanusiaan tempat
saya berada, saya akan berusaha sekuat tenaga saya untuk menjadi
malaikat yang mencoba menerangi istana tersebut, walaupun hanya 1
(satu) atau beberapa malaikat, sebelum saya akhirnya menyerah kalah
dan memutuskan untuk kembali menjadi manusia biasa saja…

Wassalam,
Deni Danasenjaya
Banda Aceh, 09-02-2008

Tinggalkan Balasan

Alamat email anda tidak akan dipublikasikan. Required fields are marked *